Udara malam ini begitu dingin
hingga menusuk tulang. Selimut tebal yang bertumpuk di badannya sedikit
mengurangi rasa dingin. Hujan sejak tadi pagi membuat suasana di sekitar
menjadi lengang. Suasana seperti ini membuatnya bosan.
Berkali-kali Alika memencet tombol
remote TV tapi tidak acara yang menurutnya bagus. Berkali-kali pula ia membolak-balik
majalah yang baru ia beli tapi tetap saja tidak ada yang menarik hatinya
mengusir kebosanan.
Semua telah ia lakukan
untuk menghilangkan rasa bete. Dengerin musik, nonton film, berenang, belanja,
dan sebagainya tapi tidak bisa menutupi kesedihan di hatinya. Ia selalu
teringat pertengkarannya dengan Ririn kemarin membuatnya bete dan juga sedih.
“Aku enggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Kamu memang sahabatku tapi bukan berarti kamu bisa mengatur siapa yang akan jadi cowok aku.” Bentaknya pada Alika membuat ia tidak percaya dengan ekspresi kemarahan yang terlihat di wajah Ririn. “Kamu enggak pernah bisa mengerti dan memahami perasaanku. Kamu hanya bertindak sesuka hatimu tanpa peduli dengan perasaan orang lain.”
“Aku enggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Kamu memang sahabatku tapi bukan berarti kamu bisa mengatur siapa yang akan jadi cowok aku.” Bentaknya pada Alika membuat ia tidak percaya dengan ekspresi kemarahan yang terlihat di wajah Ririn. “Kamu enggak pernah bisa mengerti dan memahami perasaanku. Kamu hanya bertindak sesuka hatimu tanpa peduli dengan perasaan orang lain.”
Niat
baik yang Alika lakukan untuk Ririn justru dibayar dengan kemarahan. Di mata
Ririn, Alika seperti melakukan kesalahan terbesar. Ia akui kalo ia salah karena
enggak jujur kalau ia akan mencomblangkan Ririn dengan Rio, anak teman mamanya.
Tapi haruskah Ririn semarah itu, sampai ia bilang kalau Alika tidak bisa
mengerti dan memahaminya.
Malam
yang dingin telah berganti dengan datangnya sang fajar yang terik. Tanah yang
basah terguyur hujan sudah mulai kering. Orang-orang berlalu-lalang ke arah
tujuan mereka masing-masing. Alika pun melakukan rutinitas layaknya anak
sekolah lainnya pergi ke sekolah. Entah kenapa hari ini ia sangat malas pergi
ke sekolah bukan karena pelajaran-pelajaran yang membuat otak mumet tapi ia
tidak bisa membayangkan ekspresi apa lagi yang akan muncul dari kemarahan Ririn
padanya.
Alika
menarik nafas panjang ketika gerbang sekolah di depan mata. Bayangan tentang
Ririn dan Putra akan memarahi dan nyuekin dia terbayang terus di pikiran.
Bayangan yang ia takutkan pun terbukti. Ririn masih marah dengannya bahkan di
kelas ia begitu sinis padanya. Sedangkan Putra, walaupun ia tidak menunjukan ekspresi
kemarahan seperti Ririn tapi jelas terlihat di wajahnya kalau Putra kesal
dengannya.
“Putra,
aku minta maaf.” ucapnya menarik tangan Putra dan menggengamnya. Putra
memandang Alika tanpa ekspresi. Entah kenapa, ada perasaan sakit di hatinya
ketika ia lihat untuk pertama kalinya Putra memandangnya dengan padangan seperti
itu.
“Al,
aku tahu niat kamu baik. Kamu ingin sahabatmu punya pacar tapi kamu enggak bisa
paksain dia untuk pacaran. Setidaknya kamu harus bisa mengerti perasaan orang
lain.” ujar Putra menasehatinya.
“Maaf,
aku pikir kamu suka sama Ririn makanya aku comblangin kamu sama dia. Aku dengar
dari mamamu kalau kamu lagi suka sama cewek. Aku pikir cewek itu Ririn.” Alika
mencoba menjelaskan.
Putra
menatap Alika dengan terkejut. “Mamaku cerita itu ke kamu?” katanya dengan
ragu-ragu. Alika menganggukan kepala. “Tapi kenapa kamu berpendapat kalo Ririn
cewek yang aku suka?”
“Waktu
itu mama kamu bilang kalo cewek yang kamu suka itu cewek yang aku kenal dengan
baik.” jawabnya dengan jujur. “Yang terlintas di pikiranku saat itu cewek yang
aku kenal dengan baik adalah dia. Lagipula aku lihat beberapa minggu ini kalian
begitu dekat jadi aku semakin yakin kalo cewek itu Ririn.” ujarnya dengan
polos.
Putra
tertawa kecil ketika Alika menceritakan hal itu. “Lalu... siapa cewek yang kamu
suka itu?” tanya Alika penasaran. Putra tidak menjawab dan berlalu pergi dengan
meninggalkan sebuah senyuman untuknya. Jantungnya berdegup kencang ketika ia
melihat senyuman dan tatapan lembut Putra padanya.
Beribu
tanya tanya menghantui pikirannya tentang cewek yang putra suka. Senyuman dan tatapannya tadi pagi membuat
Alika selalu teringat padanya.
“Aduh....
aku nih kenapa sih. Kok jadi mikirin Putra terus.” Gumamnya sambil menepuk
jidatnya dengan pelan. “Jangan-jangan
aku.....?”
****
Siang itu, hujan berguyur dengan
deras. Alika masih diam di depan kelas menunggu hujan reda. Ramalan cuaca bahwa
beberapa hari akan turun hujan membuat penyesalan terbersit dihatinya ketika ia
lupa membawa payung.
Menelpon mama atau papanya untuk
minta jemput jelas tidak mungkin. Papa pasti sibuk dengan urusan kantornya.
Sedangkan mama sibuk dengan acara bakti sosial dengan teman-teman arisannya.
Kekecewaan timbul ketika Ririn
berjalan melewatinya tanpa menoleh, tersenyum padanya, atau menawarkan
berpayung dengannya. Ririn begitu cuek, seakan ia tidak melihat Alika berdiri
di depan kelas. Hatinya seperti teriris-iris melihat perlakuan Ririn padanya.
Ia mencoba menahan air matanya tapi tidak bisa. Hujan air mata mengalir di
pipinya.
Alika menghapus air mata yang
jatuh di pipinya ketika disampingnya berdiri pak Ruslan, penjaga sekolah memberikan
payung untuknya.
“Terima kasih, pak. Akhirnya saya
bisa pulang. Saya janji besok payungnya akan saya kembalikan.” Ujarnya dengan
ramah.
“Enggak perlu dikembaliin. Payung
itu bukan milik bapak. Mbak alika simpan aja.” Jawabnya sambil berlalu pergi.
Alika terheran-heran mendengar
ucapan pak Ruslan. Ia mengamati payung itu dengan seksama. Payung yang tidak
asing lagi baginya. Payung yang sama persis seperti miliknya yang ketinggalan
di rumah. Tapi, mungkinkah ini payung miliknya yang tertinggal? Tidak mungkin.
Orang yang punya payung ini kan bukan cuma dia.
Keheranannya terjawab. Payungnya
yang tertinggal di rumah tidak ada. Ternyata benar payung itu miliknya. Tapi
siapa yang sengaja menitipkan payung itu pada pak Ruslan?
Seharian
sejak pulang sekolah Alika menangis hingga matanya sembab. Tapi tetap saja air
matanya terus mengalir deras dan tidak berkurang. Kemarahan Ririn pada Alika
membuat Ririn benar-benar membencinya. Bahkan Ririn tidak mau lagi pulang
sekolah dengannya lagi. Tangisnya mulai pecah. Kesedihannya semakin memuncak
ketika mama dan papanya belum pulang.
Beberapa
hari ini mama dan papa sering berantem. Selain itu mereka sering tidak betah di
rumah dan lebih memilih berlama-lama kerja di kantor dan betemu dengan
teman-temannya. Mereka juga mulai sering memarahi Alika karena ia selalu ikut
campur dalam permasalahan orang tuanya.
Entah berapa tissue yang terbuang
dan berserakan di lantai kamarnya yang terpakai untuk menghapus air mata yang
berguyur deras di pipinya.
Waktu sudah menunjukkan hampir
tengah malam. Tapi ia masih saja belum bisa memejamkan matanya. Kepanikan
muncul. Ia terkejut ketika tiba-tiba lampu rumah mati. Rasa takut mulai
mendera.
“Aduh...
kenapa pake acara mati lampu segala sih.” Gerutunya dengan kesal. Ia bergegas
berbaring di tempat tidurnya dan menarik selimut menutupi dirinya dari rasa
takut. “Gawat... sekarang kan malam jumat. Mama dan papa belum pulang lagi.”
gumamnya dalam hati.
Ketakutan
Alika semakin menjadi-jadi ketika ia dengar suara hentakkan beberapa langkah kaki
masuk ke kamarnya dengan suara pelan.
“Jangan-jangan
pencuri yang masuk atau..... hantu!” gumamnya meringis ketakutan. Ia membuka selimutnya dengan ragu-ragu dan rasa takut.
“Aaargghhhh....” teriaknya. Lampu menyala
“Surprise!” teriak Ririn sambil
memegang kue tart. “Happy Birthday to you.... happy birthday to you....”
Alika
masih diam tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Selamat
ulang tahun ya, sayang.” Ucap mama dan papa mencium dan memeluknya. Alika masih
terbengong-bengong.
Alika
mulai sadar bahwa hari ini ulang tahunnya yang sempat terlupakan karena
masalah-masalahnya. Ia mulai menduga-duga semua kejadian yang terjadi. Benarkah
ini hanya sebuah sandiwara?
“Kalian
ngerjain aku?”
Ririn,
mama, dan papa Alika mengangguk dengan kegirangan karena berhasil ngerjain
Alika.
“Sebenarnya
rencana ini mendadak kok. Kebetulan kamu bikin ulah buat comblangin aku sama
Putra. Ya udah aku akting marah sama kamu buat jadi surprise ulang tahunmu.” ujar
Ririn menjelaskan. “Mama dan papa kamu juga enggak berantem kok. Ini rencana
aku juga supaya surprisenya makin sempurna.”
Dalam
hatinya Alika memang kesal tapi ia bahagia ternyata orang tua dan sahabatnya
ingat hari ulang tahunnya. Ia lega, kemarahan ririn dan pertengkaran orang
tuanya itu hanya sandiwara. Mereka lakukan itu semua untuk mensukseskan
surprise ulang tahunku.
Ia
juga mulai tahu kalo payung yang ia pakai waktu itu memang miliknya. Mamanya
sengaja menitipkan payung itu pada Ririn tapi karena Ririn sedang akting ia
meminta pak Ruslan meberikannya pada alika.
Surprise
berikutnya ia terima dengan kedatangan Putra membawa bunga mawar putih
kesukaannya. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya ketika ia
tahu cowok yang Putra suka yang ia kenal dengan baik adalah dirinya sendiri.
Kenyataan yang membuatnya semakin bahagia di ulang tahunnya kali ini karena ia
juga memeliki perasaan yang sama dengan Putra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar