Social Icons

Pages

Jumat, 11 Oktober 2013

Cerpen "Surprise"


Udara malam ini begitu dingin hingga menusuk tulang. Selimut tebal yang bertumpuk di badannya sedikit mengurangi rasa dingin. Hujan sejak tadi pagi membuat suasana di sekitar menjadi lengang. Suasana seperti ini membuatnya bosan.
Berkali-kali Alika memencet tombol remote TV tapi tidak acara yang menurutnya bagus. Berkali-kali pula ia membolak-balik majalah yang baru ia beli tapi tetap saja tidak ada yang menarik hatinya mengusir kebosanan.
Semua telah ia lakukan untuk menghilangkan rasa bete. Dengerin musik, nonton film, berenang, belanja, dan sebagainya tapi tidak bisa menutupi kesedihan di hatinya. Ia selalu teringat pertengkarannya dengan Ririn kemarin membuatnya bete dan juga sedih.
“Aku enggak suka dengan cara kamu yang seperti ini. Kamu memang sahabatku tapi bukan berarti kamu bisa mengatur siapa yang akan jadi cowok aku.” Bentaknya pada Alika membuat ia tidak percaya dengan ekspresi kemarahan yang terlihat di wajah Ririn. “Kamu enggak pernah bisa mengerti dan memahami perasaanku. Kamu hanya bertindak sesuka hatimu tanpa peduli dengan perasaan orang lain.”
                Niat baik yang Alika lakukan untuk Ririn justru dibayar dengan kemarahan. Di mata Ririn, Alika seperti melakukan kesalahan terbesar. Ia akui kalo ia salah karena enggak jujur kalau ia akan mencomblangkan Ririn dengan Rio, anak teman mamanya. Tapi haruskah Ririn semarah itu, sampai ia bilang kalau Alika tidak bisa mengerti dan memahaminya.
                Malam yang dingin telah berganti dengan datangnya sang fajar yang terik. Tanah yang basah terguyur hujan sudah mulai kering. Orang-orang berlalu-lalang ke arah tujuan mereka masing-masing. Alika pun melakukan rutinitas layaknya anak sekolah lainnya pergi ke sekolah. Entah kenapa hari ini ia sangat malas pergi ke sekolah bukan karena pelajaran-pelajaran yang membuat otak mumet tapi ia tidak bisa membayangkan ekspresi apa lagi yang akan muncul dari kemarahan Ririn padanya.
                Alika menarik nafas panjang ketika gerbang sekolah di depan mata. Bayangan tentang Ririn dan Putra akan memarahi dan nyuekin dia terbayang terus di pikiran. Bayangan yang ia takutkan pun terbukti. Ririn masih marah dengannya bahkan di kelas ia begitu sinis padanya. Sedangkan Putra, walaupun ia tidak menunjukan ekspresi kemarahan seperti Ririn tapi jelas terlihat di wajahnya kalau Putra kesal dengannya.
                “Putra, aku minta maaf.” ucapnya menarik tangan Putra dan menggengamnya. Putra memandang Alika tanpa ekspresi. Entah kenapa, ada perasaan sakit di hatinya ketika ia lihat untuk pertama kalinya Putra memandangnya dengan padangan seperti itu.
                “Al, aku tahu niat kamu baik. Kamu ingin sahabatmu punya pacar tapi kamu enggak bisa paksain dia untuk pacaran. Setidaknya kamu harus bisa mengerti perasaan orang lain.” ujar Putra menasehatinya.
                “Maaf, aku pikir kamu suka sama Ririn makanya aku comblangin kamu sama dia. Aku dengar dari mamamu kalau kamu lagi suka sama cewek. Aku pikir cewek itu Ririn.” Alika mencoba menjelaskan.
                Putra menatap Alika dengan terkejut. “Mamaku cerita itu ke kamu?” katanya dengan ragu-ragu. Alika menganggukan kepala. “Tapi kenapa kamu berpendapat kalo Ririn cewek yang aku suka?”
                “Waktu itu mama kamu bilang kalo cewek yang kamu suka itu cewek yang aku kenal dengan baik.” jawabnya dengan jujur. “Yang terlintas di pikiranku saat itu cewek yang aku kenal dengan baik adalah dia. Lagipula aku lihat beberapa minggu ini kalian begitu dekat jadi aku semakin yakin kalo cewek itu Ririn.” ujarnya dengan polos.
                Putra tertawa kecil ketika Alika menceritakan hal itu. “Lalu... siapa cewek yang kamu suka itu?” tanya Alika penasaran. Putra tidak menjawab dan berlalu pergi dengan meninggalkan sebuah senyuman untuknya. Jantungnya berdegup kencang ketika ia melihat senyuman dan tatapan lembut Putra padanya.
                Beribu tanya tanya menghantui pikirannya tentang cewek yang putra suka.  Senyuman dan tatapannya tadi pagi membuat Alika selalu teringat padanya.
                “Aduh.... aku nih kenapa sih. Kok jadi mikirin Putra terus.” Gumamnya sambil menepuk jidatnya dengan pelan. “Jangan-jangan aku.....?”
****
                Siang itu, hujan berguyur dengan deras. Alika masih diam di depan kelas menunggu hujan reda. Ramalan cuaca bahwa beberapa hari akan turun hujan membuat penyesalan terbersit dihatinya ketika ia lupa membawa payung.
Menelpon mama atau papanya untuk minta jemput jelas tidak mungkin. Papa pasti sibuk dengan urusan kantornya. Sedangkan mama sibuk dengan acara bakti sosial dengan teman-teman arisannya.
Kekecewaan timbul ketika Ririn berjalan melewatinya tanpa menoleh, tersenyum padanya, atau menawarkan berpayung dengannya. Ririn begitu cuek, seakan ia tidak melihat Alika berdiri di depan kelas. Hatinya seperti teriris-iris melihat perlakuan Ririn padanya. Ia mencoba menahan air matanya tapi tidak bisa. Hujan air mata mengalir di pipinya.
Alika menghapus air mata yang jatuh di pipinya ketika disampingnya berdiri pak Ruslan, penjaga sekolah memberikan payung untuknya.
“Terima kasih, pak. Akhirnya saya bisa pulang. Saya janji besok payungnya akan saya kembalikan.” Ujarnya dengan ramah.
“Enggak perlu dikembaliin. Payung itu bukan milik bapak. Mbak alika simpan aja.” Jawabnya sambil berlalu pergi.
Alika terheran-heran mendengar ucapan pak Ruslan. Ia mengamati payung itu dengan seksama. Payung yang tidak asing lagi baginya. Payung yang sama persis seperti miliknya yang ketinggalan di rumah. Tapi, mungkinkah ini payung miliknya yang tertinggal? Tidak mungkin. Orang yang punya payung ini kan bukan cuma dia.
Keheranannya terjawab. Payungnya yang tertinggal di rumah tidak ada. Ternyata benar payung itu miliknya. Tapi siapa yang sengaja menitipkan payung itu pada pak Ruslan?
                Seharian sejak pulang sekolah Alika menangis hingga matanya sembab. Tapi tetap saja air matanya terus mengalir deras dan tidak berkurang. Kemarahan Ririn pada Alika membuat Ririn benar-benar membencinya. Bahkan Ririn tidak mau lagi pulang sekolah dengannya lagi. Tangisnya mulai pecah. Kesedihannya semakin memuncak ketika mama dan papanya belum pulang.
                Beberapa hari ini mama dan papa sering berantem. Selain itu mereka sering tidak betah di rumah dan lebih memilih berlama-lama kerja di kantor dan betemu dengan teman-temannya. Mereka juga mulai sering memarahi Alika karena ia selalu ikut campur dalam permasalahan orang tuanya.
Entah berapa tissue yang terbuang dan berserakan di lantai kamarnya yang terpakai untuk menghapus air mata yang berguyur deras di pipinya.
Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Tapi ia masih saja belum bisa memejamkan matanya. Kepanikan muncul. Ia terkejut ketika tiba-tiba lampu rumah mati. Rasa takut mulai mendera.
                “Aduh... kenapa pake acara mati lampu segala sih.” Gerutunya dengan kesal. Ia bergegas berbaring di tempat tidurnya dan menarik selimut menutupi dirinya dari rasa takut. “Gawat... sekarang kan malam jumat. Mama dan papa belum pulang lagi.” gumamnya dalam hati.
                Ketakutan Alika semakin menjadi-jadi ketika ia dengar suara hentakkan beberapa langkah kaki masuk ke kamarnya dengan suara pelan.
                “Jangan-jangan pencuri yang masuk atau..... hantu!” gumamnya meringis ketakutan. Ia membuka selimutnya dengan ragu-ragu dan rasa takut. “Aaargghhhh....” teriaknya. Lampu menyala
                “Surprise!” teriak Ririn sambil memegang kue tart. “Happy Birthday to you.... happy birthday to you....”
                Alika masih diam tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
                “Selamat ulang tahun ya, sayang.” Ucap mama dan papa mencium dan memeluknya. Alika masih terbengong-bengong.
                Alika mulai sadar bahwa hari ini ulang tahunnya yang sempat terlupakan karena masalah-masalahnya. Ia mulai menduga-duga semua kejadian yang terjadi. Benarkah ini hanya sebuah sandiwara?
                “Kalian ngerjain aku?”
                Ririn, mama, dan papa Alika mengangguk dengan kegirangan karena berhasil ngerjain Alika.
                “Sebenarnya rencana ini mendadak kok. Kebetulan kamu bikin ulah buat comblangin aku sama Putra. Ya udah aku akting marah sama kamu buat jadi surprise ulang tahunmu.” ujar Ririn menjelaskan. “Mama dan papa kamu juga enggak berantem kok. Ini rencana aku juga supaya surprisenya makin sempurna.”
                Dalam hatinya Alika memang kesal tapi ia bahagia ternyata orang tua dan sahabatnya ingat hari ulang tahunnya. Ia lega, kemarahan ririn dan pertengkaran orang tuanya itu hanya sandiwara. Mereka lakukan itu semua untuk mensukseskan surprise ulang tahunku.
                Ia juga mulai tahu kalo payung yang ia pakai waktu itu memang miliknya. Mamanya sengaja menitipkan payung itu pada Ririn tapi karena Ririn sedang akting ia meminta pak Ruslan meberikannya pada alika.
                Surprise berikutnya ia terima dengan kedatangan Putra membawa bunga mawar putih kesukaannya. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya ketika ia tahu cowok yang Putra suka yang ia kenal dengan baik adalah dirinya sendiri. Kenyataan yang membuatnya semakin bahagia di ulang tahunnya kali ini karena ia juga memeliki perasaan yang sama dengan Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar